Selasa, 18 Oktober 2011

mudik (tanpa huruf besar)

Rasanya aneh menggunakan istilah mudik untuk acara pulkam yang tidak pada waktu liburan sekolah atau libur hari raya. Apalagi Oktober ini, anak sekolah justru lagi sibuk-sibuknya menghadapi ujian semester. Sedang hari raya qurban masih tanggal 6 bulan depan, November 2011. Yahhh, saya baru saja balik mudik selama empat hari dari Makassar kota Angin Mammiri. Akhirnya saya tetap memakai istilah mudik (tanpa huruf  besar), sebagai penggambaran pemilihan waktu yang tidak umum. :D

Berangkat dengan salah satu maskapai penerbangan terkemuka di Indonesia pada hari Kamis. Tiba di Bandara Hasanuddin Makassar sekitar jam tiga pagi, dengan prediksi Jumat pagi saya sudah bisa wara-wiri di Kota Makassar. Dan Alhamdulillah, rencana tersebut berjalan dengan lancar. Pagi-pagi saya mulai survey lokasi ruko kakak saya yang  ingin didiskusikan jenis usahanya, kira-kira usaha apa yang sesuai dengan luas tempat dan lokasi ruko tersebut. Setelah itu kami berangkat survey ke kios yang berlokasi di Pasar Segar. Hmm..tidak luas, hanya sekitar 2 X 3 m2. Sudah kebayang kios bakso dan warkop yang murmer untuk bentuk usaha kios yang ini. Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi rumah Kakak di Tonasa, sekaligus bertemu dengan suami dan dua anaknya.

Hari ke dua, sesuai dengan janji saya ke kantor Jakarta, saya siap untuk mengajar dua kelas kerudung secara berturut-turut, hanya jeda sejam untuk istirahat sholat & makan. Walaupun sebenarnya kondisi fisik saya lagi kurang sehat berhubung diserang gejala flu yang semakin kental. Alhasil, setelah kelar ngajar jam empat sore, suara saya sudah serak berat bahkan terkadang tidak kedengaran sama sekali. :( Eh, malamnya temen ngajak dinner di Ta Yang Suki. Hajaarrr!!!





Hari Minggu saya sudah janjian dengan teman-teman SMA untuk reunian di salah satu obyek wisata Kab. Maros, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Cihuuuyyyyy!!! Senang rasanya membayangkan air terjun dengan air yang mengalir deras, sementara kupu-kupu dengan aneka jenis spesies dan warna terbang berseliweran di sekitarnya. Air terjun ini bukan termasuk kategori air terjun tinggi, dari puncak limpahan air hingga menyentuh dasar sungai, ketinggian air hanya berkisar 10 meter saja. Air terjun ini ber-arus lemah karena "mengalir" mengikuti kontur batu, bukan "dijatuhkan" dari atas, namun bukan berarti kita boleh kehilangan kewaspadaan ketika bermain di bawahnya.

Dalam perjalanan ke sana, saya sempat beberapa kali mampir di jalan hanya untuk membidik view-view yang menarik. Sesampai di lokasi, rombongan teman-teman yang berangkat dari Pangkep sudah lebih dahulu tiba. Sedangkan kami berempat dari Kota Makassar, tiba satu jam kemudian.

Reuniannya lumayan seru, ada orgen tunggal segala. Jadi dehhhh...walaupun agak memaksakan diri, saya ikutan nyumbang dua buah lagu, biar tetap eksis! Acaranya beres sore, masih sempat foto-foto di depan tangga jalan menuju gowa mimpi. Sebenarnya saya pengen banget sampai di puncaknya dan masuk ke dalam Gowa Mimpi, tapi berhubung keterbatasan waktu, saya harus puas dengan mengambil beberapa foto di tangga jalan menuju ke atas. Setelah itu saya meyempatkan untuk mampir membeli souvenir kupu-kupu yang unyuuuu!!! Hmm...tidak sempat ke mana-mana lagi, saya langsung back home ajaahhhh..



 









Hari berikut saya mengagendakan untuk bertemu dengan teman-teman alumni Komunikasi Unhas. Walaupun ketemuannya hanya berlima, tapi tidak kalah seru dengan reunian temen-temen alumni SMA kemaren. Lunch bareng dengan menu kuliner khas Makassar, yummy! Melepas kangen dengan Sop Konro dan Pallubasa.

Siangnya saya otw menuju Malino. Padahal rencana awal, saya justru janjian dengan temen-temen SMA utk melanjutkan acara reuni di Tonasa, Pangkep. Tapi apa daya, temen yang bersangkutan malah ada kerjaan di Malino, kebeneran! Asyiikk!

Malino, tempat wisata seperti puncak, berjarak 90 km dari kota Makassar dengan waktu tempuh sekitar tiga jam, menyusuri pegunungan Bawakaraeng. Tepatnya di Daerah Tinggi Moncong Kabupaten Gowa. Jalanan yang berkelok-kelok, banyak pohon pinus hijau di sisi kiri kanan sepanjang jalan, dengan suhu lumayan dingin. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah tulisan Pesanggrahan Malino, view ini wajib di foto sebagai welcome location.

Trus ke Air terjun Ketemu Jodoh, viewnya keren! Disana ada air terjun dengan sungai berbatu besar. Sayang ajah air mancurnya ga terlalu deras berhubung musim kemarau yang panjang. Konon kabarnya, dengan berkunjung dan mandi ke Air Terjun Ketemu Jodoh ini, dipercaya bisa memudahkan bagi orang yang ingin bertemu jodohnya. Serta memperoleh kebahagiaan dalam mengarungi bahtera Rumah Tangga. Believe or not! :D

Dari sana saya melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju Air terjun Takapala, terletak di Daerah Bulutana. Treknya memang agak berliku dengan jurang di sisi kiri dan kanan jalan, namun hal itu tidak membuat saya gentar. Sedikit pening sempat menyerang, akan tetapi saya mencoba menghalaunya dengan menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Kalau tempat ini lebih ke bawah lagi, melewati perumahan penduduk, sekaligus rumah-rumah mereka dipersewakan untuk turis yang mau nginap di lokasi tersebut. Rumahnya masih tradisional, rumah panggung dua lantai, terbuat dari kayu. Di sana dapat ditemui air terjun dengan ketinggian 60 meter, sangat memukau!





Berhubung waktu sudah malam & suasananya juga sudah gelap banget, akhirnya kami mengakhiri kunjungan di Jembatan Merah. Sebenarnya masih ada air terjun Lebbanna yang terletak di Desa Kanreapia, berjarak delapan km dari Kota Malino, tapi malam yang semakin pekat tidak memungkinkan saya untuk meneruskan perjalanan ke permandian lembah biru dengan berbagai jenis tanaman Holtikultura itu.

Berakhir di Jembatan Merah, lapar baru terasa menyerang, pengen cepat-cepat eksis di meja makan. Saya menuju ke kantor temen yang kebetulan ikut andil di pembangunan jembatan merah tersebut, selain mencoba mengadu nasib mencari masakan tradisional Malino, saya juga ingin menunaikan sholat Magrib. Alhamdulillah..ketemulah si sayur kacang campur labu siam dan sambel tomat yang delicius! Blom lagi masakan serupa gulai ayam dengan bumbu khas daerah sana.








Sholat sudah. Makan juga sudah. Jam menunjukan pukul delapan waktu setempat. Saya harus segera pamit niy, mengingat besok subuh harus terbang lagi, balik ke Jakarta.